2 Faktor Penyebab Disintegrasi Politik Masa Dinasti Abbasiyah
Masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah sering dikaitkan dengan masa kejayaan umat Islam atau diistilahkan dengan “The Golden Age”. Sejarah mencatat pergantian kekuasaan Dinasti Umayyah kepada Dinasti Abbasiyah tidak hanya semata-mata pergantian kekuasaan, melainkan momentum perubahan yang menoreh wajah dunia Islam sebagai pembangun dan penyumbang terbesar dalam peradaban. Kemajuan-kemajuan yang dicapai Dinasti Abbasiyah di antaranya, perkembangan pesat berbagai cabang disiplin ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan ini terlihat dari upaya Khalifah Harun al-Rasyid dan al-Makmun ketika mendirikan sebuah akademi, perpustakaan besar yang dilengkapi lembaga-lembaga penerjemahan. Kegiatan-kegiatan tersebut kemudian melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang banyak berkontribusi dan melakukan inovasi baru dalam menambah khazanah keilmuan Islam.
Kejayaan dan kemajuan yang ditorehkan Dinasti Abbasiyah tidak bertahan lama, karena pada masa selanjutnya kekuasaan mulai menurun. Wilayah-wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah secara politis tidak stabil, bahkan ikatan-ikatan wilayah Islam satu persatu mulai melemah. Di Andalusia, Dinasti Umayyah mulai bangkit dengan Abdurrahman Nasr sebagai khalifahnya. Di Afrika Utara, golongan Syi’ah Isma’iliyah mulai bangkit dan berhasil membentuk Dinasti Fatimiah. Dari sini lah keutuhan umat Islam mulai retak, kekuasaan khalifah munurun, dan Baghdad dirampas oleh Hulagu Khan. Tidak lama setelah itu, khalifah-khalifah Dinasti Abbasiyah hanya menjadi boneka. Para Gubernur memisahkan diri dari pusat pemerintahan dan memproklamirkan dirinya sebagai khalifah dengan membentuk dinasti-dinasti kecil.
Penulisan artikel ini akan mengkaji dan memaparkan satu pokok permasalahan dari uraian singkat di atas. Permasalahan tersebut yaitu disintegrasi politik dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Disintegrasi yang terjadi pada Dinasti Abbasiyah diartikan sebagai keadaan tidak bersatu, keadaan terpecah belah, dan hilangnya keutuhan, persatuan, sehingga menimbulkan perpecahan. Setidaknya ada 2 faktor yang menjadi penyebab disintegrasi politik masa Dinasti Abbasiyah.
Persaingan Keluarga Khalifah untuk Memperebutkan Jabatan
Badri Yatim menyebutkan bahwa berdirinya Dinasti Abbasiyah didukung oleh 3 faksi yaitu, keturunan Ali (Alawiyin) yang dipimpin Abu Salamah, keturunan Abbas (Abbasiyah) yang dipimpin oleh Ibrahim, dan keturunan Persia yang dipimpin Abu Musa al-Khurasani. Pada masa perkembangan Dinasti Abbasiyah, ketiga faksi tersebut terlibat persaingan, bahkan antara satu dengan lainnya saling menanamkan pengaruh dalam masyarakat. Ini lah yang kemudian menjadi benih perpecahan di kemudian hari.
Ketika Khalifah Abu Abbas memerintah, ia berupaya mempertahankan Dinasti ini dengan segala cara termasuk menghukum pihak-pihak yang dianggap berpotensi membahayakan jabatannya. Seperti halnya yang terjadi pada Abu Salamah yang merupakan tangan kanan Khalifah dan berjasa dalam mendirikan Dinasti Abbasiyah. Atas jasanya, ia diberi gelar wazir keluarga Muhammad. Namun demikian, ia dibunuh karena dicurigai akan memindahkan kekhalifahan kepada keluarga Alawiyin. Sikap Khalifah yang egois dengan membunuh orang-orang yang berjasa dalam mendirikan daulahnya memicu munculnya benih-benih kebencian. Khalifah tanpa menyadari jika orang-orang yang dibunuh mempunyai pengaruh kuat dalam dunia Islam. Terbunuhnya Abu Salamah melahirkan kebencian Syi’ah kepada Dinasti Abbasiyah.
Di samping itu, terbunuhnya Abu Muslim al-Khurasani oleh Khalifah Abu Ja’far al-Mansur menjadi titik tolak gerakan tersembunyi orang-orang Persia. Gerakan ini menginginkan kekuasaan dalam pemerintahan, mempropagandakan ajaran-ajaran zoroaterisme dan mazdakisme yang kemudian melahirkan gerakan zindiq. Gerakan ini banyak menarik perhatian Khalifah pada periode pertama. Namun, pada periode selanjutnya para Khalifah lemah dan gerakan ini menjadi tantangan dan hambatan dalam pemerintahan.
Sepeninggal pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid terjadi perebutan kekuasaan oleh kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma’mun. Perebutan ini dimenangkan oleh al-Ma’mun yang di kemudian hari menjadi pemicu munculnya kebencian dari pendukung al-Amin yang berupaya mencari celah untuk bisa menghapus pengaruh orang-orang Persia dalam pemerintahan. Sudah sangat wajar jika dalam suatu Dinasti dilanda konflik internal berupa perebutan kekuasaan. Perebutan kekuasaan ini menjadi pemicu lahirnya konflik eksternal di mana para pesaing masing-masing mencari bantuan kekuatan untuk menundukkan lawan. Adanya kekuatan dari luar ini yang kemudian mendorong kekuasaan berpindah ke tangan pemenang, yang secara tidak langsung kekuasaan yang sebenarnya telah berakhir.
Perebutan kekuasaan juga terjadi tatkala pemerintahan Dinasti Abbasiyah didominasi oleh Bani Buwaihi. Kehadiran Bani Buwaihi berawal dari tiga bersaudara putra Abu Syuja’ yaitu, Ali, Ahmad, dan Hasan yang memasuki dinas militer. Pada mulanya, mereka bergabung dengan panglima perang Makan bin Ali di wilayah Dailam. Kemudian bergabung lagi dengan panglima Mardawij bin Zayar al-Dailamy. Karena prestasi tiga bersaudara ini, panglima Mardawij mengangkat Ali sebagai gubernur di al-Karaj, dua saudaranya lagi sebagai pejabat penting di wilayah lain. Dari al-Karaj ini lah kekuasaan Bani Buwaihi berasal. Ali mendapatkan legitimasi dari Khalifah al-Radi Billah dan mengirim uang untuk perbendaharaan negara. Ia berhasil mengadakan ekspansi ke Irak, Ahwaz, dan Wasith. Dari sini lah Bani Buwaihi perlahan menuju Baghdad untuk merebut kekuasaan di pusat pemerintahan.
Pada suatu ketika terjadi perebutan kekuasaan dalam tubuh pemerintahan, yaitu perebutan jabatan amir al-umara dan pemimpin militer. Para pemimpin militer meminta bantuan kepada Ahmad bin Buwaihi di Ahwaz. Ahmad bersama pasukannya tiba di Baghdad dan disambut baik oleh khalifah. Atas jasanya, Ahmad diangkat menjadi amir al-umara dengan gelar Muiz al-Daulah. Sementara itu, Ali memerintah di Syiraz diberi gelar Imam al-Daulah dan Hasan memerintah di Ray diberi gelar Ruka al-Daulah. Pada masa selanjutnya, dominasi Bani Buwaihi mengalami penurunan karena adanya perebutan kekuasaan antara Muiz al-Daulah dengan putra Imam al-Daulah yang memperebutkan jabatan amir al-umara.
Sementara itu, Bani Saljuk mulai masuk dalam tubuh pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Masuknya Bani Saljuk ini bermula dari undangan Khalifah al-Qaim kepada Tughrul Beg untuk meredam tindak sewenang-wenang Arselan al-Bassasiri. Keberhasilan Tughrul Beg ini berhasil mengakhiri mendorongnya untuk mendominasi kekuasaan kekuasaan Bani Buwaihi dan dimulailah kekuasaan Bani Saljuk yang berkuasa dari tahun 1055-1194 M. Pada 1011 M, terjadi peristiwa Manzikart, suatu gerakan ekspansi yang dilakukan oleh Alep Arselan yang berkekuatan 15.000 prajurit berhasil mengalahkan tentara Romawi yang berkekauatan 200.000. Peristiwa ini lah yang kemudian menjadi benih munculnya Perang Salib.
Di samping itu, kekuasaan Bani Saljuk mulai mengalami kemunduruan di bidang politik. Perebutan kekuasaan di antara anggota keluarga mulai muncul. Beberapa provinsi berupaya melepaskan diri dari kekuasaan pusat. Konflik dan peperangan antar anggota keluarga melemahkan mereka. Sementara itu, beberapa dinasti kecil mulai memerdekakan diri, seperti Khawarizm, Ghuz, dan Ghur. Kekuasaan Bani Saljuk berakhir di tangan Khawarizm Syah pada tahun 1119 M.
Munculnya Sikap Ashabiyah antara kaum Arab dan non-Arab
Sedikit kembali pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah sebagaimana terdapat dalam catatan sejarah bahwa dalam rangka mengambil hati bangsa Arab, Bani Umayyah memberikan perhatian lebih terhadap bangsa Arab daripada bangsa lainnya. Pada akhir masa pemerintahan Dinasti Umayyah, politik kasta ini digunakan dengan baik oleh Bani Abbas untuk mengkonsolidasi semua pihak yang merasa kecewa terhadap pemerintahan Bani Umayyah. Konsolidasi ini berhasil dengan tumbangnya kekuasaan Dinasti Umayyah dan dimulainya kekuasaan Dinasti Abbasiyah.
Pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, khalifah tidak menganut faham arabisme. Faham ini dihapuskan oleh khalifah, sehingga masyarakat baik Arab maupun non-Arab semuanya sama. Karena itu, banyak kaum Mawali atau non-Arab yang berpartisipasi dalam pemerintahan. Sementara itu, orang Arab yang sebelumnya menjadi masyarakat kelas satu pada masa kekuasaan Dinasti Umayyah merasa tersudut dengan adanya penghapusan itu. Perasaan ini lah yang kemudian melahirkan sifat ashabiyah atau fanatik kesukuan.
Pada masa awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah, khalifah banyak mengangkat orang-orang Persia untuk terlibat dalam struktur pemerintahan. Hal ini dikarenakan pada dasarnya peradaban Persia lebih maju daripada budaya Arab, sehingga mereka merupakan aset potensial untuk membentuk dan memajukan Dinasti Abbasiyah. Pengaruh orang-orang Persia pada perkembangan selanjutnya membentuk peradaban Islam dan mendominasi kehidupan intelektual, terutama berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat dan sastra.
Persekutuan yang dibangun Dinasti Abbasiyah menurut Stryzewska yang dikutip oleh Badri Yatim, ada dua yaitu: Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Dinasti Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah kesukuan. Oleh karena itu, Khilafah Dinasti Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ashabiyah tradisional. Di samping itu, orang-orang Persia tidak selalu merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula.
Fanatisme kebangsaan ini tampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia dan Turki dijadikan pegawai dan tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Oleh Dinasti Abbasiyah, mereka dianggap sebagai hamba. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh bangsa Persia dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka merasa bahwa negara adalah milik mereka, mereka memiliki kekuasaan atas rakyat berdasarkan kekuasaan khalifah.
Kecederungan masing-masing bangsa untuk medominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal Khalifah Bani Abbas berdiri. Akan tetapi, karena para khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah al-Mutawakkil, seorang Khalifah yang lemah naik tahta, dominasi tentara Turki tak terbendung lagi. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaihi, bangsa Persia, pada masa selanjutnya beralih kepada Bani Seljuk sebagaimana diuraikan terdahulu.
Post a Comment for "2 Faktor Penyebab Disintegrasi Politik Masa Dinasti Abbasiyah"
Post a Comment
Add your comment