Periodisasi Perang Padri 1809-1837
Perjuangan kaum Padri melawan penjajah mengalami pasang-surut. Antara kaum Padri dan Belanda sama-sama mengalami kalah dan menang dalam pertempuran-pertempuran. Beberapa kali mengadakan perjanjian damai, namun tidak lama kemudian diingkari. Untuk lebih mudah memahami perjalanan Perang Padri, proses terjadinya perang dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu:
- Periode 1 berlangsung antara tahun 1809-1821
Periode ini ditandai adanya gerakan kaum Padri dalam membersihkan tindakan-tindakan menyimpang yang dilakukan oleh kaum Adat. Salah satu anggota Harimau Nan Salapan, Tuanku Nan Renceh memusatkan gerakan dakwahnya di daerah Kamang. Ia memulai gerakan dakwahnya kepada masyarakat setempat dan menyerukan ajaran Islam murni sebagaimana yang diajarkan Rasulullah Muhammad. Pada suatu ketika, gerakan dakwah yang ia lakukan mendapat tantangan. Kaum Adat dengan sengaja mengadakan sabung ayam dan pesta minuman keras di Bukit Batabuah. Tantangan ini dilakukan kaum Adat untuk mengukur seberapa kuat dan teguh iman kaum Padri dalam menjalankan syari'at Islam. Tentu saja tantangan ini disambut kemarahan kaum Padri. Akibatnya terjadi pertempuran hebat yang kemudian dimenangkan pasukan kaum Padri. Peristiwa di Bukit Batabuah ini menjadi permulaan terjadinya Perang Padri.
Gerakan dakwah Tuanku Nan Renceh terus meluas hingga Padang Rarab, Guguk, Candung, Matur, Luhak Lima Puluh Kota dan Luhak Agam. Di setiap daerah, kaum Padri memberlakukan struktur kekuasaan baru dengan ditetapkannya seorang qadhi dan imam. Qadhi bertugas menjaga dan menjadim keamanan serta kelancaran pelaksanaan ibadah umat Islam, sedangkan imam bertugas memimpin pelaksanaan ibadah dan syari'at Islam. Gerakan dakwah kaum Padri dilanjutkan ke Luhak Tanah Datar yang merupakan pusat kekuasaan adat Minangkabau. Di daerah ini, kaum Padri mendapat perlawanan dari penghulu dan pemangku adat. Walaupun begitu, kaum Padri tidak pantang menyerah justru mereka semakin kuat berdakwah dengan semangat jihad, sehingga Luhak Tanah Datar berhasil ditaklukan.
Untuk memperkuat gerakan Padri, Tuanku Nan Renceh memerintahkan muridnya, Muhammad Syahab (Imam Bonjol) untuk membuat benteng sebagai markas pasukan Padri. Benteng ini terletak di sebelah timur Alahan Panjang tepatnya di kaki bukit Tajadi. Benteng ini berdiri megah dengan tembok tebal dan menjulang tinggi. Berdirinya benteng ini menjadi langkah awal bagi Imam Bonjol untuk mendakwahkan Islam di Alahan Panjang. Untuk memperluas gerakan Padri, Tuanku Imam Bonjol mengangkat Tuanku Rao dan Tuanku Tambusi untuk memimpin gerakan Padri di Tapanuli Selatan.
Pada tahun 1821, wilayah kekuasaan Padri telah mencapai seluruh Pegunungan Agam, Danau Maninjau, dan Matur. Ketika itu, Bonjol dijadikan sebagai ibukota wilayah kekuasaan Padri dengan pimpinan tertingginya Tuanku Imam Bonjol. Selama kepemimpinan Padri, Alahan Panjang menjadi daerah yang makmur. Sawah dan perkebunan tumbuh subur, bahkan hasil panen buah-buahan melimpah. Christine Dobbine dalam bukunya yang berjudul "Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Padri Minangkabau 1784-1847" menyebutkan bahwa, kemakmuran pada masa kepemimpinan Padri juga diakui oleh tentara Belanda yang ditemukan melalui catatan pribadinya, "Pusat pemerintahan Padri di Bonjol sangat indah, aman, damai, makmur dan sejahtera." Padri mengangkat seorang qadhi, imam, dan polisi di setiap desa. Qadhi ditugaskan untuk menyelesaikan perkara sesuai dengan hukum Islam, imam ditugaskan untuk memimpin ibadah dan mengajarkan Islam kepada penduduk setempat, sedangkan polisi ditugaskan untuk mengawasi orang orang yang tidak melakukan ibadah dan tidak menutup aurat. Desa-desa yang berada dalam kekuasaan Padri dapat dikenali dengan berdirinya masjid-masjid yang megah. Selain itu terdapat benteng yang selalu dijaga ketat mengelilingi perkampungan. Inilah salah satu strategi Padri menjaga masyarakat setempat agar tetap bisa bekerja dan bercocok tanam di tengah terjadinya perang, sehingga perekonomian dapat stabil. - Periode 2 berlangsung antara tahun 1821-1832
Pada periode ini, orientasi perlawanan Padri berubah dari menghadapi kaum Adat menjadi menghadapi Belanda. Ketika itu, Belanda ingin menguasai daerah-daerah strategis yang telah dikuasai Padri. Menghadapi serangan ini, pasukan Padri di Tapanuli Selatan di bawah komando Tuanku Rao dan Tuanku Tambusi turun dalam pertempuran sengit. Dalam pertempuran ini, Tuanku Rao gugur, namun demikian perlawanan tetap diteruskan di bawah komando Tuanku Tambusi. Pertempuran yang semakin sengit mendorong Belanda untuk memperkuat pasukannya dengan mengirim tambahan pasukan di bawah pimpinan Letnal Kolonel Raaff. Pertempuran terus berlanjut walau kekuatan pasukan tidak seimbang, hal ini menyebabkan pasukan Padri memilih mundur ke Lintau. Pasukan Belanda terus mengejar dan melakukan perlawanan-perlawanan. Puncaknya adalah ketika Koto Lawas, Pandai Sikat, dan Gunung berhasil direbut Belanda. Disusul kemudian Tuanku Pamansiangan berhasil ditangkap dan dihukum gantung.
Akhir tahun 1822, pasukan Padri melakukan serangan balasan di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol. Serangan ini berhasil merebut beberapa daerah yang sebelumnya telah direbut Belanda. Pertempuran dan perebutan wilayah terus terjadi hingga tahun 1823. Banyak korban yang berjatuhan baik dari pihak Belanda maupun Padri. Untuk mengantisipasi semakin banyaknya korban, pemerintah Belanda mengajukan perjanjian genjatan senjata. Perjanjian ini disetujui oleh Padri dan disepakati bersama di Masang pada Januari 1824.
Usia perjanjian genjatan senjata nyatanya tidak bertahan lama. Sebab, pasukan Belanda dengan sengaja mengadakan gerakan militer dan berhasil menguasai daerah Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam. Di sini, pemerintah Belanda segera mendirikan benteng Fort de Kock sebagai basis pertahanan. Akan tetapi, pecahnya perang Jawa pada tahun 1825 menyebabkan sebagaian besar pasukan Belanda dialihkan ke Jawa. Pemerintah Belanda fokus menghadapi Perang Jawa, sebab Jawa merupakan wilayah strategi yang dapat mengancam eksistensi Belanda di Batavia, sehingga kekuatan pasukan dialihkan ke sana. Sementara itu, untuk menekan terjadinya perlawanan, Belanda mengakui kedudukan Padri di beberapa wilayah.
Ketika Perang Jawa usai, pasukan Belanda kembali dikirim ke Minangkabau. Perlawanan kembali terjadi. Belanda berhasil menguasai Katiagan Kota Pelabuhan, Marapalam, Kapau, Kamang, Lintau, Matur, dan Masang. Dikuasainya beberapa tersebut menyebabkan pasukan Padri semakin terjepit. Pasukan Padri hanya bertahan dan memusatkan kekuatannya di Benteng Bonjol. - Periode 3 berlangsung antara tahun 1832-1837
Kemenangan-kemenangan yang berhasil diperoleh Belanda di kemudian hari menyebabkan perasaan tidak suka dari kaum Adat. Pemerintah Belanda seringkali melakukan tindak sewenang-wenang kepada penduduk setempat, seperti pengusiran, pembantaian, pemerkosaan, dan memberikan peluang bagi orang-orang China untuk menguasai perekonomian rakyat. Sikap-sikap tersebut menimbulkan rasa kesal para penghulu untuk mengusir Belanda dari Minangkabau. Karena itu lah, kaum Adat memutar haluan untuk bergabung dengan Padri untuk bersama-sama mengusir Belanda. 11 Januari 1833 di Gunung Tandikat, kaum Adat menyatakan diri bergabung dan siap bekerja sama dengan Padri.
Serangan pertama ditujukan kepada pasukan Belanda yang ada di sekitar Benteng Bonjol. Di Sipisang, pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Vermeulen Krieger berhasil dikalahkan pasukan Padri. Di Alahan Panjang, pasukan Belanda juga berhasil dipukul mundur oleh pasukan Padri. Kondisi demikian mendorong Gubernur Jenderal Van den Bosch mengunjungi Minangkabau pada 23 Agustus 1833. Sesampainya di Minangkabau, Gubernur Jenderal Van den Bosch berunding dengan Jenderal Riesz dan Elout untuk menaklukan Benteng Bonjol.
Strategi yang dilakukan adalah membentuk empat kolone pasukan. Kolone pertama akan menyerang Benteng Bonjol melalui Suliki dan Puar Datar. Kolone kedua akan menyerang Benteng Bonjol melalui Padang Hilir. Kolone ketiga akan menyerang melalui Ram. Kolone keempat akan menyerang pasukan dari Matur. Sementara itu, Mayor de Quay meminta Tuanku Muda Halaban agar membujuk Tuanku Imam Bonjol supaya mau berdamai dengan Belanda. Tawaran ini diterima Tuanku Imam Bonjol dengan syarat perjanjian damai harus dilakukan di tempat yang akan ditentukan oleh Tuanku Imam Bonjol.
Tenggang waktu menuju hari perjanjian damai digunakan pasukan Belanda untuk menyiapkan pasukan dan persenjataan dengan baik. Strategi licik ini pun diketahui oleh pasukan Padri. Karena itu lah, pasukan Padri membuat kubu-kubu pertahanan di puncak bukit dekat Alahan Panjang. 10 September 1833, keberadaan kubu-kubu ini diketahui oleh Belanda yang kemudian dikerahkan pasukan untuk melakukan serangan ke sana. 11 September 1833, Belanda kembali mengerahkan pasukan lengkap dengan persenjataan yang memadai untuk menaklukan kubu pertahanan Padri. Serangan pasukan Belanda berhasil memukul mundur pasukan Padri dan menguasai Alahan Panjang.
12 September 1833, Belanda melakukan serangan pancingan ke Matur dan Pantar. Upaya ini berhasil dihalau Padri, karena Padri mengetahui jika serangan ini hanya serangan pancingan. Kemudian, pasukan Padri memperkuat pertahanan Kota Lalang untuk menahan datangnya pasukan Belanda dari arah Suliki. 14 September 1833, pasukan Belanda di bawah pimpinan Myor de Quay melakukan serangan ke Kota Lalang. Serangan ini tidak mampu dihadapi Padri, sebab persenjataan mereka kalah kuat daripada pasukan Belanda. Penaklukan Kota Lalang membuka jalan bagi pasukan Belanda untuk menuju Benteng Bonjol. Namun, perjalanan ini cukup berat. Sebab pasukan Padri tak henti-hentinya menghadang dan memberikan serangan secara tiba-tiba kepada pasukan Belanda. Akhinya, pasukan Belanda memilih mundur.
Sementara itu, pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Elout bergerak menuju Benteng Bonjol melalui Manggopoh. Perjalanan ini mendapat perlawanan sengit dari pasukan Padri. Perlawanan juga dilakukan oleh rakyat setempat dengan membakar gudang perbekalan pasukan Belanda. Karena itu, pasukan Belanda memilih mundur daripada maju tanpa senjata. Di samping itu, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Eilers bergerak menuju Benteng Bonjol melalui Rao. Pasukan ini mendapat dukungan dari rakyat setempat yang berhasil dihasut oleh Mayor Eilers. Sepanjang perjalanan perlawanan sengit tidak henti-hentinya digencarakan pasukan Padri. Namun, serangan demi serangan berhasil dihadapi.
18 September 1833, pasukan Belanda berhasil mendekati daerah Benteng Bonjol. Sesampainya di sini, pertempuran hebat tidak terelakkan. Banyak korban berjatuhan dari masing-masing pihak. Demi menghindari korban yang lebih banyak pasukan Belanda memilih mengundurkan diri. Pengunduran ini sebelumnya telah mendapat persetujuan dari Jenderal Van den Bosch. Melihat keadaan yang tidak mendukung dan perlawanan yang cukup besar, maka penarikan pasukan lebih baik dilakukan untuk menyiapkan strategi yang lebih baik dan menunggu waktu yang tepat.
16 April 1835 merupakan waktu yang tepat untuk kembali melakukan penyerangan Benteng Bonjol. Pasukan Belanda bergerak menelusuri hutan-hutan, mendaki gunung dan menuruni lembah. Adanya tambahan pasukan dari tentara Batavia mendorong pasukan ini bergerak cepat menduduki sebagian Benteng Bonjol. Namun, upaya ini segera dapat dihadang oleh pasukan Padri dan mendorong pasukan Belanda untuk keluar dari Bonjol. Kegagalan ini membuat Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengirimkan panglima tertingginya, Mayor Jenderal Coclius ke Bukittinggi. Pada akhirnya, 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol berhasil ditaklukan. Imam Bonjol ditangkap dan diasingkan selama 27 tahun, hingga meninggal pada 8 November 1864.
Post a Comment for "Periodisasi Perang Padri 1809-1837"
Post a Comment
Add your comment