5 Bentuk Sinkretisme dalam Tradisi Pernikahan Adat Jawa
Budaya Jawa merupakan hasil akulturasi budaya asli Jawa dengan agama Hindu-Budha. Budaya Jawa senantiasa dilestarikan bahkan saat Islam datang ke Nusantara. Dalam proses penyebaran agama Islam, para Wali berupaya memadukan antara budaya Jawa dengan budaya Islam. Perpaduan ini lah yang kemudian menjadikan Islam sebagai entitas budaya yang menyatu dengan pandangan hidup orang Jawa. Perpaduan ini lah yang kemudian dikenal dengan istilah sinkretisme. Adanya sinkretisme menjadikan orang Jawa dapat menerima Islam dengan perlahan, tanpa paksaan, dan tidak berbenturan dengan nilai-nilai filosofis Jawa.
Koentjaraningrat berpandangan bahwa sinkretisme merupakan watak asli orang Jawa. Mayoritas orang Jawa percaya jika hidup manusia di dunia sudah diatur oleh alam semesta, sehingga tidak sedikit dari mereka yang bersikap nrimo dan bersikap pasif terhadap hidup, yaitu menyerahkan diri kepada takdir. Dari sini lah, Koentjaraningrat melihat golongan Islam kejawen lahir karena keterpaduan unsur Islam dan Jawa. Walaupun terkadang tidak menjalankan salat, ataupun puasa, mereka percaya pada ajaran keimanan agama Islam. Mereka menyebut Tuhan sebagai Gusti Allah dan Nabi Muhammad sebagai Kanjeng Nabi. Dengan demikian dapat dilihat sebenarnya orang Jawa yang sering disebut kejawen memiliki pendekatan kebatinan atau rasa dalam diri manusia untuk mencapai rasa eksistensi yang tinggi sebagai manusia.
Dalam artikel ini sinkretisme yang dimaksud adalah perpaduan antara budaya Jawa dengan nilai-nilai ajaran Islam dalam upacara pernikahan. Studi kasus penulisan artikel ini adalah prosesi upacara pernikahan yang ada di Desa Karangnangka, Banyumas, Jawa Tengah. Berikut beberapa bentuk sinkretisme yang terdapat dalam upacara pernikahan.
- Bersuci dalam Bentuk Siraman
Bersuci merupakan amalan yang sangat penting, sebagaimana diajarkan dalam Islam bahwasanya ketika seseorang hendak mengerjakan ibadah sholat diwajibkan untuk bersuci terlebih dahulu, baik suci badan, pakaian, maupun tempat peribadatan. Kewajiban bersuci ini dimaksudkan agar ibadah seorang hamba dapat diterima Allah SWT. Karena bagaimana pun juga ibadah merupakan aktivitas spiritual yang menjadi tujuan manusia. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S. al-Zariyat ayat 56 yang artinya, “Dan tidak lah Allah menciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk beribadah kepada Allah”. Terkait dengan kewajiban bersuci dapat diupayakan dengan menjaga kebersihan badan dan pakaian, sehingga akan terwujud kesehatan jasmani dan rohani. Allah SWT berfirman dalam Q.S. al-Mudatsir ayat 4-5 yang artinya, “Dan pakaianmu bersihkan lah dan perbuatan dosa tinggalkan lah”.
Dalam upacara menjelang pernikahan, masyarakat Jawa mempercayai bahwa kedua calon pengantin terlebih dahulu harus melakukan siraman. Upacara ini dilakukan dalam rangka membersihkan diri kedua calon pengantin, bahkan air yang digunakan dalam prosesi siraman ini diambil dari tujuh mata air. Ibu Prihartinah yang dikenal sebagai dukun pengantin di Desa Karangnangka, Banyumas, Jawa Tengah mengatakan bahwa, “Pada saat prosesi siraman, orang tua calon pengantin harus menyirami anaknya dan memberikan nasehat-nasehat atau wejangan seputar kehidupan rumah tangga”. Upacara siraman dimaksudkan agar kedua calon pengantin bersih jiwa dan raganya, sehingga dapat menapaki kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah. - Kacar-Kucur dan Kewajiban Memberi Nafkah kepada Istri
Perjalanan hidup setelah menikah membutuhkan kerja sama, komitmen, dan komunikasi antara suami dan istri. Ketiga hal tersebut dilakukan untuk memenuhi kepuasan dalam pernikahan. Alpena Larasati dalam Jurnal Psikologi dan Perkembangan menuliskan tentang Kepuasan Perkawinan pada Istri Ditinjau dari Keterlibatan Suami dalam Menghadapi Tuntutan Ekonomi dan Pembagian Peran dalam Rumah Tangga, menemukan bahwa indikator kepuasan pernikahan dilihat dari terpenuhinya tiga aspek kebutuhan, yaitu materil, seksual, dan psikologis. Ketiga aspek ini lah yang harus dipenuhi oleh suami agar tercipta kehidupan yang harmonis dalam rumah tangga.
Terlepas dari indikator tersebut, Islam mengajarkan bahwasanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga hendaknya disesuaikan dengan keadaan dan sesuai kemampuan. Allah SWT berfirman dalam Q.S. al-Thalaq ayat 6-7 yang artinya, “Tempatkan lah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan jangan lah kamu menyusahkan dan menyempitkan mereka. Dan jika mereka (para istri yang sedang ditalak) itu sedang hamil, maka berikan lah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikan lah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkan lah di antara kamu dengan baik, dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak) itu untuknya. Hendak lah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya dan orang yang disempitkan rezekinya hendak lah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan apa yang Allah kepadanya kelak akan diberi kelapangan sesudah kesempitan”.
Islam mengajarkan bahwa seorang suami tidak hanya memberikan nafkah yang bersifat dhohir saja, melainkan wajib memberi nafkah batin, sehingga tercipta kehidupan yang bahagia. Dalam upacara pernikahan adat Jawa dikenal prosesi kacar-kucur yang melambangkan sifat tanggung jawab suami memberi nafkah terhadap istri. Semua hasil jerih payah suami diserahkan kepada istri untuk disimpan dan dimanfaatkan bagi keluarganya. Prosesi kacar-kucur dalam sinkretisme dengan ajaran Islam berkaitan dengan nilai akidah dan keyakinan bahwasanya setiap rezeki yang didapatkan suami berasal dari Allah SWT. Karena itu, suami dan istri hendaknya bersyukur atas apa-apa yang telah Allah SWT berikan. - Sungkeman dan Berbakti kepada Orang Tua
Orang tua merupakan orang yang melahirkan dan membesarkan seorang anak. Allah SWT memberikan kedudukan tinggi kepada orang tua, sebagaimana terdapat dalam firman-Nya Q.S. al-Isra ayat 23 yang artinya, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali jangan lah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan lah kamu membentak mereka dan mengucapkan kepada mereka perkataan yang mulia”. Ayat ini memperlihatkan betapa mulianya orang tua di hadapan Allah SWT. Allah juga memerintahkan untuk menyembah-Nya dan kemudian berbuat baik kepada kedua orang tua. Bila keduanya atau salah seorang di antara keduanya telah lanjut usia, sangat dilarang bersikap kasar yang menimbulkan perasaan tersinggung.
Dalam upacara pernikahan adat Jawa bentuk berbakti kepada kedua orang tua disimbolkan dalam sungkeman. Pak Budi yang dikenal sebagai adiwicara dalam suatu pernikahan di Desa Karangnangka, Banyumas, Jawa Tengah mengatakan bahwa, “Sungkeman merupakan bentuk syukur dan permohonan restu kepada kedua orang tua supaya pernikahan ini kelak langgeng sampai akhir hayat”. Sungkeman dimaksudkan sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada kedua orang tua yang telah merawat, mendidik, dan membesarkan selama ini. Ungkapan ini kemudian dilanjutkan dengan permohonan restu kepada kedua orang tua agar pernikahan kelak langgeng, dan sakinah mawaddah wa rahmah. - Midodareni dan Selamatan
Midodareni dilakukan dalam rangka mengharapkan keberkahan dari Allah SWT agar pelaksanaan pernikahan berjalan dengan lancar. Istilah midodareni diambil dari kata widodari yang berarti bidadari. Makna ini merupakan simbol pengharapan dari kedua orang tua dan calon pengantin agar kelak pengantin perempuan menjadi pengantin yang cantik layaknya bidadari. Ibu Prihartinah menjelaskan bahwa, “Ritual midodareni itu dilaksanakan sebelum akad nikah atau lebih tepatnya pada saat sore hari sebelum akad. Ritual midodareni dilakukan oleh para sesepuh yang jumlahnya 7 orang dan dilanjutkan dengan selamatan”. Selamatan ini dihadiri oleh saudara dan kerabat dekat dengan bersama-sama membaca dan mengirim doa untuk para leluhur agar tidak mengganggu jalannya prosesi pernikahan.
Islam mengenal selamatan sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT. Bentuk syukur ini diwujudkan dengan mengundang sanak saudara untuk bersama-sama memanjatkan doa kepada Allah SWT atas keberlimpahan nikmat yang telah diberikan. Acara syukuran ini biasanya ditutup dengan makan bersama-sama. Hal ini senada dengan firman Allah SWT dalam Q.S. al-Baqarah ayat 272 yang artinya, “Bukan lah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah lah yang memberi petunjuk siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan di jalan Allah, maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan jangan lah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta baik yang kamu nafkahkan niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup, sedangkan kamu sedikit pun tidak akan dirugikan”. Ayat tersebut menunjukkan bahwasannya untuk mengharapkan keberkahan, keselamatan, dan kelancaran suatu hajat hendaknya dilakukan semata-mata karena Allah SWT. - Wijik Dadi dan Ketaatan Istri kepada Suami
Ritual wijik dadi atau menginjak telur sekaligus membersihkannya merupakan simbolisasi ketaatan seorang istri terhadap suami. Mengenai ritual ini, Pak Budi menjelaskan bahwa, “telur itu diibaratkan kesucian atau keperawanan sang pengantin perempuan. Ketika telur itu diinjak oleh pengantin laki-laki mengisyaratkan bahwasanya kesucian sang pengantin perempuan telah menjadi hak milik suaminya”. Ritual wijik dadi juga dimaknai sebagai ketaatan istri kepada suami yang disimbolkan saat pengantin perempuan membersihkan dan membasuh kaki sang pengantin laki-laki.
Islam mengajarkan ketaatan seorang istri terhadap suami dapat dilakukan dengan melakukan segala kewajiban dan melakukan segala perintah sebagai seorang istri selagi tidak bertentangan dengan ajaran agama. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S. al-Nisa ayat 34 yang artinya, “Laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka di atas sebagian yang lain, dan karena itu lah laki-laki menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu lah, perempuan yang shalih adalah yang taat kepada Allah dan menjaga dirinya tatkala tidak ada suami, karena itu lah Allah menjaga mereka. Perempuan-perempuan yang dikhawatirkan akan nusyuz hendak lah kamu memberi nasehat-nasehat kepada mereka, tinggalkan mereka di tempat tidur dan jika perlu pukul lah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka jangan lah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh Allah Maha Tinggi dan Maha Benar”. Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwasanya ketaatan seorang istri itu dilihat dari ketaatannya kepada Allah dan menjaga dirinya serta patuh terhadap suaminya.
Oleh: Neneng Irwanti
Mahasiswi Magister Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Post a Comment for "5 Bentuk Sinkretisme dalam Tradisi Pernikahan Adat Jawa"
Post a Comment
Add your comment