Gerakan Padri di Sumatera Barat
Pendudukan Belanda di Indonesia menimbulkan berbagai perlawanan dari bangsa Indonesia. Salah satu bentuk perlawanan yang dapat dicontohkan adalah Gerakan Padri yang terjadi pada abad ke-19 di Minangkabau, Sumatera Barat. Gerakan ini dipicu oleh pertentangan antara dua kaum, yaitu kaum Adat dan kaum Padri. Kaum Padri berupaya memurnikan ajaran Islam dengan menghapus kebiasaan-kebiasaan buruk masyarakat Minangkabau seperti menyabung ayam, madat, berjudi dan minum minuman keras. Sementara itu, kaum Adat yang memegang teguh kebiasaan dan adat-istiadat tidak bisa begitu saja menerima pemurnian ajaran Islam.
Kaum Padri
Istilah Padri pada awal abad ke-19 belum dikenal oleh masyarakat Minangkabau. Masyarakat hanya mengenal istilah golongan putih dan golongan hitam. Istilah ini didasarkan pada pakaian yang dipakai oleh masing-masing golongan. Kata Padri pertama kali muncul dalam laporan Raffles pada tanggal 15 November 1823 yang menyatakan bahwa para Padri yang aksinya telah berlangsung selama sepuluh tahun dilancarkan, terutama untuk menentang penjualan dan pemakaian candu di Minangkabau. Van Ronkel mengemukakan hipotesa bahwa istilah Padri berasal dari Pedir. Menurut hipotesanya, agama Islam pertama kali masuk ke daerah Pedir dan dari daerah itu menyebar ke Minangkabau. Beberapa ulama Pedir turut melancarkan dakwah di Minangkabau, dan oleh masyarakat Minangkabau mereka disebut Padri. Akan tetapi hipotesa tersebut sepertinya lemah. Pendapat yang berkembang pada umumnya mengatakan bahwa Padri berasal dari kata Portugis Padre atau Pastor Katholik. Kemudian kata Padre ini disematkan kepada kelompok ulama yang menyiarkan Islam di Minangkabau. Sementara itu, menurut Christine Dobbin, kata Padri berasal dari kata Pedir (Pedie), sebuah kota pelabuhan yang terletak di Aceh. Dari kota ini lah para peziarah Minangkabau memulai pelayarannya ke Arab.
Sejak abad ke-16, Islam telah masuk ke Minangkabau. Masyarakat hidup damai berdampingan dengan tetap menghormati adat lama dan syari'at Islam. Keduanya mewarnai kehidupan masyarakat, hingga timbul pepatah yang mengatakan, “Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Adat”. Bagaimana pun juga proses sinkretisme berlangsung sangat lama. Hal ini terlihat dari kebiasaan-kebiasaan buruk, seperti menyabung ayam, madat, berjudi dan minum minuman keras. Raja, bangsawan dan para penghulu yang menjalankan peranan penting dalam pemerintah adat tak mampu menghalangi, bahkan turut menjalankan kebiasaan-kebiasaan tersebut.
Upaya Mengembalikan Kemurnian Ajaran Islam
Memperhatikan keadaan tersebut, kaum Padri merasa resah. Kaum Padri ingin memperbaiki keadaan masyarakat dengan cara mengembalikannya kepada ajaran Islam yang murni. Sejak saat ini lah timbul bibit-bibit pertentangan antara kaum Padri dan kaum Adat. Gerakan kaum Padri dimulai pada akhir abad ke-18 oleh Tuanku Kota Tua, seorang ulama dari kampung Kota Tua (daerah Cangking, Empat Angkat) di Daratan Agam. Tuanku Kota Tua memandang bahwa masyarakat sudah terlalu jauh menyimpang dari ajaran Islam yang murni, kemudian ditunjukkannya bagaimana seharusnya hidup sesuai dengan Alquran dan sunnah Nabi. Sementara itu, gerakan kaum Padri seakan mendapat kekuatan dengan kembalinya tiga orang ulama dari Mekah pada tahun 1803, yaitu Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Sumanik dari Delapan Kota, dan Haji Piabang dari Tanah Datar. Ketiga ulama ini menyaksikan secara langsung bagaimana kaum Wahabbi di Mekah meluruskan agama dan membasmi bid’ah, sehingga mereka ingin meluruskan agama Islam yang sebenarnya di Minangkabau.
Upaya yang mereka lakukan pertama kali adalah dengan mengenalkan ajran-ajaran mazhab Imam Hanbali yang dipercaya sebagai ajaran yang suci dan murni. Mereka mulai mendekati massa bukan hanya dari mimbar-mimbar masjid atau mihrab-mihrab surau, melainkan turun langsung secara lebih aktif dan dinamis ke lapangan. Mereka mempropagandakan pandangan-pandangan mereka tentang Islam yang murni. Sambil mencari simpati dari kalangan umat, mereka mengumandangkan semboyan Gerakan Pemikiran Islam dengan memerangi syirik, khurafat dan bid’ah sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan. Propaganda ini mendapat simpati besar dari berbagai pihak yang memang sudah tidak rela lagi melihat ajaran Islam dirusak. Ulama-ulama muda yang bercita-cita luhur untuk memperbaiki Islam banyak yang terpengaruh, termasuk Tuanku nan Renceh, murid Tuanku Kota Tua, Tuanku Mansiangan di Tanah Datar, Saidi Muning dari Pasaman, dan beberapa tokoh penghulu seperti Penghulu Datuk Bendahara, Peto Syarif Tuanku Mudo di Alahan Panjang yang kemudian menjadi Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Kubu Senang, Tuanku Lubuk Alung dan sebagainya.
Setelah mendapat dukungan dan simpati dari berbagai lapisan masyarakat, maka propaganda lebih ditingkatkan. Pihak yang tidak setuju dan menantang dengan kekerasan, mereka hadapi dengan kekerasan. Mereka mengadakan ketentuan-ketentuan baru, yaitu semua orang laki-laki dewasa harus memakai serban dan jubah putih, harus mempelajari Alquran dengan baik, setiap malam harus mengaji minimal satu juz, dan apa pun tugas dan ke mana pun pergi, kitab suci Alquran tidak boleh ditinggalkan. Menurut mereka, umat Islam harus mengamalkan Islam secara murni. Adat istiadat yang tidak sesuai dengan Islam harus dihapus dan diganti dengan hukum-hukum Islam. Kebiasaan rakyat yang salah, seperti menyabung ayam, madat, berjudi dan minum minuman keras dan sebagainya, harus dihapuskan dan diganti dengan peningkatan amal saleh menurut tuntutan Islam.
Pada suatu ketika, Datuk Batuah dan Haji Miskin dengan bantuan seorang penghulu melarang penduduk Pandai Sikat menyabung ayam. Akan tetapi larangan ini tidak begitu diperhatikan oleh penduduk, karena itu Haji Miskin menjadi kesal, sehingga pada suatu malam balai tempat menyabung ayam tersebut dibakar. Akibatnya, Haji Miskin dikejar-kejar penduduk. Haji Miskin berhasil menyingkir ke Kota Lawas. Di sini, ia mendapat perlindungan dari Tuanku Mensiangan. Bersama Tuanku Mensiangan, Haji Miskin menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi padanya dan mengutarakan keinginannya untuk mengembalikan kemurnian ajaran Islam. Mendengar cerita tersebut, Tuanku Mensiangan bertekad akan membantunya.
Dewan Harimau Nan Salapan
Sementara itu, kaum Adat semakin marah dengan apa yang telah dilakukan Haji Miskin. Kaum Adat terlibat perkelahian dengan orang-orang yang menaruh simpati kepada Haji Miskin di dekat Balai Panjang. Mendengar kabar ini, Haji Miskin menuju Kamang dan bertemu dengan Tuanku nan Renceh, salah seorang murid Tuanku Kota Tua. Atas usaha Tuanku nan Renceh, dibentuk lah Dewan Harimau nan Salapan yang beranggotakan Tuanku nan renceh, Tuanku Lubuk Aur, Tuanku Berapi, Tuanku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Galung, Tuanku Biaro dan Tuanku Kapau. Sebelum melaksankan tujuan, mereka bermusyawarah dengan Tuanku Kota Tua. Tuanku Kota Tua menyetujui gerakan ini dan menyarankan agar dilakukan secara damai. Sebab, pembaharuan yang keras akan menimbulkan perlawanan yang keras.
Sejak saat itu, Tuanku nan Renceh mulai menggerakkan Dewan Harimau. Mereka mengeluarkan ketentuan-ketentuan baru. Tindakan-tindakan keras semakin ditingkatkan. Penaklukan daerah dilakukan secara beruntun. Dalam jangka waktu kurang dari setahun, seluruh wilayah dalam Luhak Agam berada di bawah kekuasaan mereka. Di setiap daerah yang sudah diduduki diterapkan aturan, pertama, tidak boleh mencukur jenggot, jika melanggar dikenai denda 2 suku. Kedua, gigi tidak boleh dipepat, jika dilanggar dikenai denda seekor kerbau. Ketiga, aurat laki-laki sampai ke lutut, jika dilanggar dikenai denda 2 suku. Keempat, perempuan yang tidak menutup muka, dikenai denda 3 suku.
Di beberapa daerah ketetapan baru ini diterima kaum adat secara terbuka, bahkan beberapa penghulu menjadi pendukungnya. Akan tetapi pihak keturunan Raja Pagaruyung secara terang-terangan menentangnya. Karena itu, sebagian keturunan kaum bangsawan yang tidak mengikuti aturan tersebut dikenakan hukuman mati. Menghadapi ancaman hukuman ini, kaum bangsawan mencari perlindungan. Pada awalnya mereka meminta bantuan Inggris yang telah membuka kantor di Air Bangis, Padang dan Pulau Cinkuk. Dua orang Tuanku dari Suroaso yang mewakili Raja Minangkabau mengahadap Raffles. Mereka adalah Tuanku Tangsir Alam dan Sultan Kerajaan Alam. Raffles melihat berbagai kemungkinan dan menimbang untung rugi. Tujuan Raffles sebenarnya untuk memperoleh daerah pedalaman yang subur. Namun, karena kekuasaan Inggris di Sumatra Barat diserahkan kepada Belanda sebagai pelaksanaan Perajanjian London (1824), maka kemudian kaum Adat beralih meminta bantuan kepada Belanda.
Pada tanggal 10 Februari 1821, Residen Du Puy beserta Tuanku Suroaso dan 14 penghulu yang mewakili Minangkabau mengadakan perjanjian. Adanya perjanjian ini menjadikan beberapa daerah di Minangkabau diduduki oleh Belanda. Padahal, kesediaan Belanda tidak semata-semata ditujukan untuk melawan kaum Padri, akan tetapi ditujukan untuk menanamkan kekuasaannya. Pada 18 Februari 1821, Belanda menduduki Simawang dengan membawa dua meriam, dan seratus orang tentara. Dengan demikian, peranan kaum Adat sebagai musuh utama kaum Padri digantikan oleh Belanda. Untuk periodisasi jalannya Perang Padri akan dijelaskan dalam artikel selanjutnya
Post a Comment for "Gerakan Padri di Sumatera Barat"
Post a Comment
Add your comment